• Berita
  • UMP Kaltim Naik Rp 159 Ribu, Kabar Baik atau Kabar Buruk Bagi Buruh ?

UMP Kaltim Naik Rp 159 Ribu, Kabar Baik atau Kabar Buruk Bagi Buruh ?

Caption: Ketua Serikat Buruh Samarinda, Yoyok Sudarmanto. (Adakah.id)

Opini : Yoyok Sudarmanto
Ketua Serikat Buruh Samarinda (Serinda) Kaltim

ADAKAH.ID, SAMARINDA – Gaji atau upah tinggi merupakan impian bagi kebanyakan orang. Namun bagaimana jika besaran upah kecil ditetapkan pemerintah.

Mendorong daya beli buruh, hanya bualan pengantar tidur.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim telah memutuskan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) Kaltim tahun 2024 sebesar Rp 3.360.858.

Kenaikan upah Rp 159 ribu atau 4,98 persen dibanding tahun 2023.

Angka upah tersebut bagaikan pil pahit untuk kaum pekerja tahun 2024.

Sebab, kenaikan itu tidak sebanding dengan semakin merangkaknya harga BBM, sembako. Walhasil keluarga buruh harus mengikat pinggangnya lebih kencang untuk berhemat memenuhi kebutuhan lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.

Tuntutan Serikat Buruh untuk kenaikan upah sebesar 15 persen atau Rp 3,7 juta tidak digubris Pemerintah.

Mereka lebih memberikan karpet merah kepada investor dan pengusaha untuk selalu memeras keringat buruh.

Berbeda nasib dengan Buruh plat merah, sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo menyatakan akan menaikkan gaji ASN, serta PNS TNI dan Polri sebesar 8% tahun 2024. Selain ASN, Presiden Jokowi juga menyatakan menaikkan pensiunan sebesar 12%.

Perlakuan tersebut terbilang tak adil bagi buruh sebagai pendorong ekonomi negeri. Kendati berjasa, namun buruh masih menjadi anak tiri di negeri sendiri.

Berbeda perlakuan di negara tetangga, di kawasan Asean, menurut data, Indonesia peringkat masuk peringkat 5 soal upah buruh.

Urutan pertama, yakni Singapura dengan gaji Rp 75 juta perbulan, menyusul dibawahnya Malaysia, Thailand dan Kamboja.
Untuk Malaysia, negeri Jiran tersebut mematok rata-rata upah buruh minimal sebesar Rp4,2 juta.

Selain upah murah, pekerja juga selalu dihadapkan dengan sistem kerja yang tidak adil baik sebelum dan sesudah aturan Omnibuslaw diterapkan.

Selama ini hak – hak normatif kaum buruh banyak dilanggar pengusaha. Namun tak ada sanksi yang diberikan. Bahkan pengawasan hanya sekedar formalitas semata. Padahal pelanggaran termasuk pidana.

Permasalahan lain itu adalah tak ada upah lembur diatas jam kerja 8 jam, keterlambatan gaji, phk sepihak, pemberangusan serikat, intimidasi serta kekerasan, lalu ketidakpastian jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, dan lingkungan kerja yang tak cukup nyaman dan bersih.

Situasi itulah yang saat ini dihadapi kaum buruh.

Hal itu diperparah dengan kooptasi manajemen perusahaan dan serikat buruh gadungan yang memanipulasi kesadaran buruh.

Mereka bekerjasama untuk menekan upah buruh, dan menggenjot hasil kerja untuk keuntungan pemilik modal.

Kaum buruh di setiap kota dan kabupaten tentu sedang menunggu keputusan Wali Kota atau Bupati untuk menetap UMK bisa lebih tinggi lagi.

Semoga Kaum Buruh bisa kembali bangkit kesadarannya, dan pemerintah bisa mengakomodir kepentingan pekerja.

Buruh Bersatu Tak Bisa Dikalahkan.
Buruh Berkuasa Rakyat Sejahtera.(***)

.

MASUKAN KATA KUNCI