ADAKAH.ID, SAMARINDA – PT Kalimantan Ferro Industry (KFI) disebut telah memulai pembangunan peleburan atau smelter nikel di kecamatan Pendingin, Sanga-sanga, Kutai Kartanegara, tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Bahkan proyek bernilai triliunan tersebut diduga bermasalah soal ketenagakerjaan.
Ihwal tersebut merupakan hasil penelusuran Tim Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Samarinda yang terdiri dari Tempo.co, Kaltimkece.id, Kaltimtoday.co, Mediaetam.com, Katuju.id, Independen.id, dan Projectmultatuli.org. Baca selengkapnya : Simalakama Peleburan Nikel di Kutai Kartanegara
Melansir Tim KJI Samarinda, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim, Rafiddin Rizal mengatakan amdal masih dalam proses dan menunggu penerbitan surat kelayakan lingkungan. Ia menjelaskan bahwa smelter nikel PT KFI adalah penanaman modal asing (PMA), “PMA itu adalah kewenangan pusat,” kata Rafidin Rizal kepada KJI Samarinda pada Jumat, 18 Agustus 2023.
Terpisah, pakar hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah mengatakan daerah tidak bisa memberi karpet merah kepada modal asing yang mengabaikan AMDAL, hanya karena kewenangan PMA ada pada pemerintah pusat.
“Ibarat menangkap basah penjahat, masa kita lepaskan hanya karena alasan menunggu polisi datang? kan kacau cara berpikirnya,” kata dia kepada Adakah.id saat dikonfirmassi melalui pesan Whatsaap, Jumat (1/9/2023). “Mau PMDN atau PMA, amdal tetap menjadi instrumen untuk menjaga lingkungan,” tegasnya.
Terkait Amdal, dari upaya konfirmasi Tim KJI Samarinda, Owner Representatives PT KFI, M. Ardhi Soemargo, mengatakan bahwa perusahaan telah memiliki izin untuk membangun industri kertas di area yang kini dikelola KFI pada 1996.
“Kami lakukan amdal perubahan dengan nama KFI posisi sudah diterima tanpa terkecuali, kami sedang menunggu SKKL (surat keputusan kelayakan lingkungan) dari menteri,” kata M. Ardhi Soemargo kepada KJI Samarinda pada Jumat, 24 Agustus 2023.
Ardhi menjelaskan terkait amdal yang belum terbit namun pembangunan smelter nikel sudah berlangsung, pihaknya berpijakan pada PP 5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko menjadi peluang untuk melakukan pembangunan. “Kalau enggak ya konyol, belum lagi kami diminta hilirisasi dan kami menyambut, salah kami dimana ?” ungkapnya.
Menanggapinya, Castro–sapaan Herdiansyah Hamzah, mengatakan AMDAL merupakan dokumen untuk menguji layak tidaknya kegiatan usaha tersebut. Kegiatan usaha, dalam hal ini pembangunan smelter nikel, berjalan tanpa AMDAL bisa dikualifikasikan perbuatan melawan hukum.
“Yang berkonsekuensi pembatalan izin usaha,” jelas Castro. “Bahkan pejabat yang mengeluarkan izin yang tidak disertai amdal, bisa dipidana,” tegasnya.
Setali tiga uang, terkait proses pembangunan peleburan nikel di Pendingin, Castro mengingatkan pentingnya politik partisipasi. Menurutnya, pemangku kebijakan maupun pelaku usaha jangan sampai mengabaikan hal tersebut.
“Yang paling penting politik partisipasinya. Jangan sampai partisipasinya manipulatif. Publik harus dipastikan mendapatkan hak untuk didengarkan pendapatnya,” kata Castro, “Jangan buta dan tuli dengan pendapat serta kritik publik. Apalagi sampai pemisif dengan modal asing, tapi justru abai dengan keluhan masyarakat, terutama masyarakat setempat,” pungkasnya. (HI)