Kompolnas Partai Buruh Tolak Soeharto Jadi Pahlawan

Caption: Pro Kontra Penetapan Gelar Pahlawan untuk Soeharto.(Adakah.id)

ADAKAH.ID – Komite Politik Nasional – Partai Buruh (Kompolnas PB) menyatakan penolakan tegas terhadap keputusan pemerintahan Prabowo–Gibran yang menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.

Mereka menilai keputusan tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat Reformasi 1998 dan upaya negara untuk memutihkan sejarah kelam Orde Baru.

Dalam pernyataan resminya, Kompolnas PB menegaskan bahwa Soeharto bukan pahlawan, melainkan simbol kekuasaan otoriter yang menindas buruh, tani, perempuan, dan rakyat miskin.

Selama lebih dari tiga dekade berkuasa, rezim Orde Baru disebut telah meninggalkan warisan pelanggaran HAM berat, korupsi, serta ketimpangan sosial-ekonomi yang masih dirasakan hingga hari ini.

“Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan mengesahkan represi terhadap gerakan buruh dan mengkhianati sejarah perjuangan rakyat pekerja yang dilumpuhkan oleh kekuasaan negara,” tegas Jumisih, Kompolnas PB dalam pernyataan tertulisnya, Senin (10/11/2025).

Warisan Ketimpangan dan Represi Orde Baru

Kompolnas PB menilai bahwa kekuasaan Soeharto membangun tatanan ekonomi yang timpang dan bergantung pada modal asing, serta menyingkirkan kelas pekerja dari pengaruh politik. Melalui kebijakan pembangunan yang berorientasi pada stabilitas nasional, rezim Orde Baru menindas perjuangan buruh dan tani dengan logika militeristik.

Industrialisasi yang dijanjikan pada masa itu, kata mereka, tidak pernah melahirkan ekonomi nasional yang mandiri, melainkan menjerat Indonesia dalam rantai produksi global yang dikendalikan korporasi multinasional.

Akibatnya, kekayaan nasional terkonsentrasi di tangan segelintir elite, sementara rakyat hidup dalam kerja informal dan upah murah.

Selain itu, Soeharto disebut membuka era eksploitasi sumber daya alam secara brutal. Jutaan hektare hutan dibuka untuk kayu, tambang, dan perkebunan sawit tanpa memperhatikan kelestarian ekologis.

“Dari tambang nikel hingga proyek Ibu Kota Nusantara, logika Soeharto masih beroperasi: pembangunan tanpa demokrasi ekonomi,” ujarnya.

Buruh, Tani, dan Perempuan Jadi Korban

Selama kekuasaannya, rezim Orde Baru juga menghancurkan gerakan buruh independen dengan memaksakan serikat tunggal seperti SPSI dan HKTI, serta menjustifikasi represi terhadap gerakan rakyat dengan tuduhan “anti-komunis”.

Kondisi ini menyebabkan fragmentasi serikat, ketakutan berpolitik, dan melemahnya solidaritas kelas pekerja.

Tak hanya itu, rezim Soeharto juga membangun sistem sosial yang menindas perempuan. Dengan ideologi “ibu rumah tangga ideal”, perempuan dijadikan pelengkap laki-laki dan dijauhkan dari ruang politik serta ekonomi.

Organisasi perempuan progresif seperti Gerwani dibubarkan, dan ribuan aktivis perempuan menjadi korban kekerasan negara.

“Soeharto adalah arsitek sistem patriarki kapitalistik yang memenjarakan kerja dan tubuh perempuan demi stabilitas kekuasaan dan keuntungan modal,” bebernya.

Ideologi Anti-Komunisme dan Penghapusan Ingatan Kolektif

Kompolnas PB juga menyoroti bagaimana anti-komunisme dijadikan alat kekuasaan untuk membungkam sisa-sisa kekuatan rakyat.

Narasi “Pancasila sejati” digunakan untuk menghapus memori perjuangan rakyat pekerja dan menanamkan kepatuhan terhadap tatanan kapitalis-otoritarian.

Kultur ketakutan yang diciptakan Orde Baru, menurut mereka, masih mewarisi trauma ideologis hingga kini, sehingga menghambat kebangkitan gerakan buruh dan politik rakyat di era modern.

Tiga Tuntutan Utama Partai Buruh

Atas dasar tersebut, Kompolnas PB menyampaikan tiga tuntutan utama kepada pemerintah:

  1. Menolak secara resmi pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, karena penghargaan itu mencederai perjuangan Reformasi 1998.
  2. Menuntut Presiden dan Kementerian Sosial menghentikan proses administratif pengusulan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto serta melibatkan partisipasi publik dan suara korban dalam setiap proses pemberian gelar kehormatan negara.
  3. Mengembalikan makna “pahlawan” sebagai simbol keberanian moral melawan penindasan — bukan sekadar mereka yang membangun gedung dan jalan, tetapi yang menegakkan martabat manusia dan keadilan sosial.

Bangsa yang Besar Tidak Melupakan

Kompolnas PB menutup pernyataannya dengan menyerukan agar rakyat, terutama kelas pekerja, tidak melupakan sejarah kelam Orde Baru.

Menurut mereka, bangsa yang besar adalah bangsa yang berani mengakui kesalahannya dan memperjuangkan kebenaran.

“Pahlawan sejati adalah mereka yang berdiri bersama rakyat, bukan mereka yang menindas rakyat atas nama pembangunan,” pungkas Jumisih. (*)

MASUKAN KATA KUNCI
Search

BERITA

MODE

ADA+