ADAKAH.ID, SAMARINDA – Massa aksi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) dibubarkan paksa aparat kepolisian saat akan menggelar aksi unjuk rasa dari depan kantor ILO ke patung kuda pada Jum’at (19/10) di Jakarta.
Sehari sebelumnya upaya mobilisasi juga digembosi dengan memaksa angkutan-angkutan transportasi Bus agar tidak membawa massa aksi ke Jakarta. Massa buruh dan organisasi rakyat dari sekitar dan luar Jakarta dihambat untuk berjalan ke titik kumpul.
“Aksi ini dikonfirmasi sudah ada pemberitahuan di Polda Metro Jaya dan Mabes Polri, dan tidak ada larangan aksi. Akan tetapi malam menjelang aksi korlap dan para pimpinan organisasi di hubungi untuk tidak melakukan aksi, dengan alasan mau ada kegiatan di sekitar titik aksi dan banyak pejabat penting dalam dan luar negeri yang hilir mudik,”kata Sekjen Aliansi Gebrak, Cecep Saripudin.

Menurutnya, Polisi harusnya memfasilitasi rencana menyampaikan pendapat masyarakat, bukan malah membubarkan.
Sementara itu, Ketua Umum KASBI, Sunarno menjelaskan, dalam hal ini basis serikat buruh yang berasal dari Tangerang, Jakarta, Karawang, Garut, Bandung, Bekasi, Subang, Serang, Cimahi, dan beberapa kota lainnya tidak dapat masuk jakarta karena ada blokade ketat.
“Polisi sudah melarang perusahaan angkutan (PO.Bus) agar tidak membawa massa ke Jakarta. Begitupun dengan mobil komando yang disiapkan juga tidak diperbolehkan untuk digunakan,” imbuh Sunarno.
Gebrak memandang cara-cara kekerasan dan intimidasi kepada masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa sudah tidak zamannya lagi, dan jangan sampai kembali ke cara-cara orde baru yang otoriter anti demokrasi. Semua warga negara punya hak demokrasi yang sudah dijamin Undang-Undang Dasar 1945.
“Polisi sebagai institusi Negara seharusnya melindungi peserta aksi bukan malah membubarkan, mengintimidasi dan represif,”tegasnya.
Senada, merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Politik Nasional-Partai Buruh, Rivaldi Haryo Seno mengatakan, surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian sudah di berikan sejak empat hari yang lalu.
“Aksi kami hari ini sah sesuai ketentuan undang-undang, untuk menyuarakan keresahan kaum buruh kepada pemerintahan Prabowo – Gibran,” tegas Aldi sapaannya.
Lebih lanjut, Bung Aldi pun menyayangkan, aksi pemblokadean yang dilakukan oleh aparat keamanan.
“Kebebasan menyatakan pendapat kam dibatasi, dihalang-halangi. Sehingga kami mengecam pihak kepolisian yang melakukan pemblokadean untuk segera membuka jalan agar kami dapat menyuarakan tuntutan kami ke Pemerintahan Prabowo-Gibran,” jelas Aldi lagi.
Menurutnya jika Polisi bekerja sesuai dengan amanat Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, aksi tanggal 19 Oktober 2024 tidak perlu sampai di bubarkan paksa, karena tidak dilakukan di hari berbarengan dengan agenda seremonial pergantian Presiden-Wakil Presiden di Gedung DPR RI.
Perlakuan aparat kekuasaan negara menutup ruang kebebasan berpendapat dengan alasan rangkaian pelantikan Presiden baru, Prabowo-Gibran. Tindakan ini adalah rapot merah pertama rezim.
Prabowo-Gibran sekalipun mereka belum dilantik. Ruang demokrasi semakin sempit, untuk menyampaikan aspirasi sudah tidak merdeka.
Syarat menghormati kegiatan nasional menjadi doktrin yang tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan masalah dari 10 tahun pemerintahan Jokowi, secara tegas akan dilanjutkan oleh Prabowo.
Banyak merampas hak dasar rakyat, sumber hidup, ruang hidup melalui kekuasaan dan pembajakan legislasi. Namun seakan hal tersebut tidak pantas disampaikan menjelang pelantikan presiden baru.
Tanpa demokrasi, atau represi yang dibiarkan akan mempermudah kelas borjuis dan elit politik menciptakan kebijakan yang menindas rakyat. Untuk itu GEBRAK mengecam tindakan pemerintah dan alat kekerasan negara yang membubarkan aksi massa yang dijamin konstitusi.
Atas situasi tersebut GEBRAK menuntut kepada negara:
- Hentikan segala bentuk kekerasan, penghalang-halangan, pembungkaman dan pemberhangusan gerakan rakyat.
- Jalankan demokrasi sesuai amanat konstitusi.
- Kami menyerukan kepada seluruh gerakan rakyat untuk segera
mengkonsolidasikan diri untuk mempersiapkan diri melawan ancaman demokrasi. (*)