OPINI ; Yoyok Sudarmanto, Ketua Serikat Buruh Samarinda (SERINDA)
ADAKAH.ID, SAMARINDA – Ketenagakerjaan di Kalimantan Timur tengah berada di persimpangan antara pertumbuhan dan ketimpangan. Di satu sisi, ekonomi daerah terus tumbuh — Kaltim mencatat pertumbuhan positif di atas 6 persen pada 2024, ditopang oleh sektor tambang dan industri ekstraktif. Namun di sisi lain, nasib buruh dan pekerja kontrak masih diwarnai ketidakpastian.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk usia kerja di Kaltim mencapai 1,97 juta orang, dengan sekitar 107 ribu di antaranya masih menganggur. Angka ini menggambarkan ironi di tengah geliat investasi besar dan geliat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Lebih dari setengah tenaga kerja di Kaltim bekerja di sektor informal, berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional 2023. Sektor ini sering kali luput dari perlindungan hukum: tanpa kontrak tetap, tanpa jaminan sosial, dan tanpa kepastian upah. Buruh borongan dan pekerja harian hidup dari satu proyek ke proyek lain, tanpa jaring pengaman ketika jatuh sakit atau kehilangan pekerjaan.
Rendahnya kepesertaan dalam BPJS Ketenagakerjaan menegaskan lemahnya perlindungan sosial di lapangan. Tahun 2024, hanya sekitar 69.671 tenaga kerja dari lebih dari 1,9 juta pekerja di Kaltim yang tercatat sebagai peserta aktif. Itu artinya, hanya 3–4 persen buruh yang memiliki jaminan kerja formal.
Bahkan di kota-kota besar seperti Samarinda dan Balikpapan, ribuan buruh formal belum terdaftar. Padahal, peraturan sudah jelas: setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan. Sayangnya, penegakan aturan masih lemah, dan sanksi terhadap pelanggar jarang diterapkan.
Di sisi lain, isu upah layak juga masih menjadi sorotan. Upah Minimum Kabupaten atau kota naik 20 persen, maka dapat meningkatkan daya beli buruh yang selama ini hancur karena kebutuhan pokok dan biaya hidup yang terus naik di wilayah industri.
Pemerintah daerah seharusnya menegaskan kembali kewajiban pengusaha untuk menaati Upah Minimum Provinsi (UMP) maupun UMK, sekaligus memastikan perusahaan tidak menghindar dari kewajiban memberikan jaminan sosial.
Buruh yang bekerja dengan sistem kontrak, borongan, dan harian lepas harus mendapat perhatian serius. Mereka adalah tulang punggung sektor informal yang menopang ekonomi daerah. Selama status mereka dibiarkan tanpa kepastian hukum, selama itu pula kesejahteraan hanyalah janji kosong.
Reformasi ketenagakerjaan di Kaltim harus dimulai dari pengawasan yang tegas, penegakan hukum yang adil, dan keberpihakan nyata terhadap pekerja. Pemerintah tidak boleh hanya menjadi penonton antara modal dan keringat, antara keuntungan dan pengorbanan.
Negara hadir bukan untuk melayani kepentingan korporasi, tetapi untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat pekerja. Karena tanpa buruh, roda pembangunan tidak akan pernah berputar. (*)
